Minggu, 09 Agustus 2015

Yang Tertekan, Yang Bertahan

Kondisi bisnis broiler (ayam pedaging) saat ini diibaratkan oleh Syaiful Bur sedang berperang melawan musuh yang bersenjata lengkap. Dan siasat bertempur yang dia tempuh agar tetap selamat adalah dengan sembunyi, alih-alih lari meninggalkan medan pertempuran. “Tidak perlu lari meninggalkan musuh, cukup bersembunyi asal tidak kena tembak. Masih dapat melihat musuh dan siap jika ada kesempatan datang,” ujar peternak senior yang kandangnya banyak di daerah Bekasi, Jawa Barat ini menjelaskan strateginya kepada TROBOS Livestock.
 
Harga livebird (ayam hidup) cenderung tertekan sejak 2012. Harga ayam di bawah harga pokok produksi (HPP) yang berkepanjangan dialami seluruh peternak di Indonesia. Dan sebagian peternak mulai berpikir ulang meneruskan usahanya.
 
Tetapi Syaiful Bur, adalah salah satu yang yakin mempertahankan usahanya, meski harus melakukan berbagai manuver untuk penyelamatan. Saat ditemui di kediamannya di Jakarta Pusat, pria yang beternak mulai 1982 ini mengatakan, sejak awal ia beternak suplai DOC (ayam umur sehari) adalah faktor utama yang berperan dalam fluktuasi harga ayam. Dan saat ini, menurut dia, dampak nyata dari over supply DOC adalah harga jual ayam saat panen yang senantiasa jeblok.Disinyalir, DOCberlebih 1,5 juta ekor tiap minggunya dari kebutuhan nasional.Kondisi ini akan berbeda apabila perusahaan besar yang memiliki budidaya mengekspor broiler hasil budidayanya.
               
Kondisi buruk selama 2 tahun harga jual ayam hidup di bawah HPP mengakibatkan peternak harus menyubsidi usahanya. Dengan asumsi harga DOC Rp 4.000 Syaiful mematok kisaran HPP usahanya saat ini Rp 14.500 – 15.000 per kg. Dan agar untung, harga jual semestinya di level Rp 16.000. Apa lacur, harga terkini berkisar Rp 14.500 – 15.500 per kg (4/15). “Sepanjang 2013, bisa dibilang tidak ada keuntungan. Cukup untuk membayar anak kandang dan sapronak yang diperlukan,” tutur Syaiful.
 
Zulham Ariansyah, salah satu peternak Bogor juga menyatakan, usaha broiler kini makin buruk dan tidak menunjukkan perbaikan. “Katanya ada pengurangan jumlah DOC, seharusnya harga membaik. Tapi kenyataannya harga semakin turun,” tuturnya saat ditemui TROBOS Livestock disela-sela kesibukan melayani pengunjung di taman edufarm miliknya.
               
Zulham mengaku berat jika menggantungkan hidup sepenuhnya dari usaha budidaya broiler. Populasinya yang semula 20.000 dan sempat berkembang jadi 50.000 ekor, kini susut hanya 15.000 ekor. “Sejak 5 tahun lalu, beberapa kandang saya alih fungsikan menjadi kandang sapi perah. Diversifikasi saya lakukan disamping tetap mempertahankan usaha broiler,” tuturnya.
               
Zulham berpendapat dalam kondisi saat ini jika peternak ingin survive tidak bisa hanya mengandalkan budidaya saja melainkan harus dibarengi dengan trading (jual beli). “Trading yang dilakukan bisa saja broiler itu sendiri atau trading lainnya seperti DOC,” terangnya. Menurut dia daya tawar peternak mandiri saat ini rendah, sehingga seringkali terabaikan oleh pemerintah.

Sumber : Majalah Trobos

0 komentar: